Lilin Merah

 

Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.

Kehenigan mengapungkan kenangan, mengembalikan citra yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca suka atau tidak pada hasilnya.

Lilin merah berdiri megah diatas glazur, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati didasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah.

Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.

Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.

By Edy Buyat Dikirimkan di Lelucon

Teka-teki Sang Kekasih

Dibalik Jawaban Rahasia Wanita Saat CowoK Menembak Ceweknya…[nice bgt kan]

Cowok adalah sosok mahluk yang
diciptakan untuk selalu optimis. Termasuk
masalah jodoh dalam rangka ngedapetin
pasangan hidup. Mungkin cerita-cerita
di bawah ini bisa jadi bahan pemikiran buat
cowok-cowok yang mo ngomong sama si
cewek yang udah lama diincer.
Yang penting… diingetin aja kalo cowok
harus selalu optimis. OK ….

==================================

Roni: “Aku suka sama kamu, Rin …. Aku
pengin kamu jadi pacarku.”

Rina: (Malu-malu) “Aku juga suka sama
kamu, Ron”.

Artinya – Jelas si Rina suka sama si Roni,
sampe ngomong terus terang gitu.

————————————————————–

Hendro: “Nov, Aku bener-bener suka sama
kamu. Aku pengin kita bisa jalan bareng”.

Novi: “Kaya’nya kita lebih baik temenan
aja,dech. Kita khan udah lama temenan”.

Artinya – Novi pun sebenarnya suka sama si
Hendro. Staus “teman”hanya buat alasan aja
buat si Novi biar bisa deket terus sama si
Hendro.

————————————————————–

Andri: “Aku ngerasa cocok jalan sama kamu.
Mau ngga’ jadi pacarku, Wen ?”

Wenny: Jangan sekarang deh …. Aku pengin
konsentrasi study-ku dulu

Artinya – Wenny suka sama si Andri, jawaban
yang nggantung dan ngambang kaya’ gitu
maksudnya biar Andri penasaran dan
tetep “stay around” si Wenny.
Dengan gitu khan mereka bisa tetep deket.
Andaikan si Wenny nggak suka, pasti
ngomong terus terang sama Andri.

————————————————————–

Roy: “Kamu cakep dech, Lia … Aku pengin
pacaran sama kamu ….

Lia: “Terus terang ya, Roy … Aku nggak suka
sama kamu. Aku benci sama kamu. Kamu
Egois, Kamu bau, Kamu urakan, Kamu
cowok males ! Pokoknya aku benciii sama
kamu !!!

Artinya – Perhatian Lia gedhe sama Budi. Lia
tau semua sifat-sifat Roy, sampe baunya
segala.
Ngga’ banyak cewek yang perhatian kaya’
gitu. Dan sangat mungkin itu artinya Lia
aslinya suka sama Roy.

————————————————————–

Indra: Aku udah lama merhatiin kamu, Yen …
Aku suka en sayang banget sama kamu …

Yenni: (Tertawa lepas) Haa..ha..uahaaa..ha..
Lucu kamu, Dra !

Artinya – Betapa gembiranya Yenni
mendengar ucapan Indra. Ekspresi tawa
bahagia tiada tara.
Jelas banget si Yenni suka sama sama si
Indra, sampe dibilang kalo Indra lucu segala.

————————————————————–

Yanto: Ria, …Mau ngga’ jadi pacarku ?

Ria: Plak !! Plak !! (Ria “menyentuh” pipi si
Yanto)

Artinya – Yanto spesial buat Ria. “Sentuhan”
tangan Ria ke pipi Yanto (sampe 2 X bahkan,
ninggalin bekas merah lagi) adalah
sentuhan yang ngga’ semua cowok bisa
ngerasain. Peluang besar buat Yanto
bahwa Ria suka sama dia.

————————————————————–

Bimo: Win, Wina … Aku suka banget sama
kamu. Pacaran Yuk …

Wina: Jancuk !! Aku iki lanang, Mo ! Aku
koncomu,

WinaRNO !!! Eling, Mo….eling … Aku
WinaRNO..!!

Artinya – Wina seneng sama Bimo. Masa’
sampe ngaku-ngaku cowok segala. Ngotot
lagi..! Wina ngaku cowok khan biar selalu
bisa santai dan deket sama Bimo.
===================================
===================================

Jadi jawaban apapun yang nantinya
diberikan sama si cewek,… peluang selalu
ada dan ngga’ pernah
ketutup. So .. Tetap Semangat.

:p [hueuehuehuehuehu]

By Edy Buyat Dikirimkan di Lelucon

Gumulan Saja

 

Dosen Fisika:
Ciuman adalah gaya tarik menarik
antara dua mulut dimana jarak antara
satu titik dengan titik yang lain adalah
nol.

Dosen Kimia:
Ciuman adalah reaksi akibat interaksi
dari senyawa yang dikeluarkan oleh dua
hati.

Dosen Mikrobiologi:
Ciuman adalah pertukaran bakteri
uniseksual di dalam air liur.

Dosen Biologi:
Ciuman adalah menyatunya dua otot
orbicularisoris dalam keadaan kontraksi.

Dosen Ekonomi:
Ciuman adalah sesuatu di mana
permintaan lebih besar drpd
penawaran.

Dosen Statistik:
Ciuman adalah kejadian yang
peluangnya bisa sangat tergantung dari
angka statistik berikut:36-24-36.

Dosen Teknik:
Ciuman? Apa itu..?

Dosen elektro:
Ciuman Adalah bertemu antara ion
positif dan negatif yang mengakibatkan
arus lemah menjadi arus kuat…

Dosen Kedokteran:
Ciuman adalah proses pendiaknosaaan
fisik secara langsung yang berakibakan
aliran darah ke organ reproduksi
meningkat

Dosen psikologi:
Ciuman adalah proses penjiwaan
terhadap pola pikir seseorang untuk
mengetahui akan kenikmatan….

Ciuman menurut dosen program
komputer:
If kiss >= Hot then go to bed room else
go to bathroom end.

Ciuman Menurut Dosen Seni :
Ciuman adalah sesuatu yang indah bila
dinikmati bersama

Ciuman menurut guru olahraga :
jika berciuman berkategori sangat hot,
sama besar dengan kalori yang
terbuang untuk berjalan
tergopoh-gopoh (brisk walking)

Ciuman menurut dosen politik (ilmu
transformasi konflik):
ciuman adalah kemampuan untuk
mentransformasi gesekan-gesekan konflik
dari dua kelompok berbeda sehingga
bisa
menghasilkan sesuatu yang positif (win
win solution: “semua senang,semua
nyaman..semua melayang)

Ciuman menurut dosen matematika  (teori
kemungkinan) :
Ciuman itu gambling, sekarang nyium
Tinggal tunggu balasannya, digampar
ato dibalas cium…

Ciuman menurut Dosen olahraga
(again) :
Ciuman adalah suatu peregangan &
pemanasan untuk “olahraga” yang lebih
berat….

Menurut dosen kewiraan :
Ciuman adalah hak yang dimiliki oleh
seorang pasangan yang hubungannya
telah diakui oleh negara berdasarkan
hukum dan undang-undang yang
berlaku.

Menurut dosen bahasa :
Ciuman adalah berasal dari sebuah kata
dasar “cium” yang mendapatkan akhiran
“an”.

Menurut dosen seksiologi :
Ciuman adalah suatu teknik rangsangan
dan pemanasan (foreplay) dimana
tahapan ini menyentuh titik titik
rangsangan di seluruh tubuh…

Menurut anaknya dosen :
Ciuman adalah temannya ciunyil,
ciucrit, ciusrok. bisa juga berarti sudah
sadar dari pingsan.

By Edy Buyat Dikirimkan di Lelucon

HUMOR DAN AIR MATA

 

Selamat tinggal  indo compongku yang cantik dan manis. Bertahun tahun sudah engkau terbaring terposo poso, di atas kasur yang kapuknya terhambur beralaskan papan yang sudah lapuk.Rambutmu yang panjang telah berubah menjadi botak, akibat ulah ibuku yang gendut telah menggunting rambutmu yang penuh kutu dan ketombe. Akan tetapi, itu semua ibu lakukan karena ibuku tidak ingin melihat indonya mirip LUNA MAYA, melainkan dia ingin melihat indonya mirip pemain sepak bola asal Brasil,RONALDO. Namun impian ibuku untuk melihat indo compong menjadi pemain bola, pupuslah sudah.kini ia  sekarang menjadi KUNTILANAK BERAMBUT  JABRIK.   sory yah indo,aku Cuma bercanda .itu hanya sebuah lelucon yang sengaja aku tulis hanya untuk menghibur diri saya sendiri.karena sesungguhnya hati saya sangat terpukul,setelah mendengar kabar bahwa engkau telah pergi meninggalkanku untuk selama lamanya.

RABU,11 februari 2009,tepatnya pukul 05.30 sore,seorang perempuan tua yang bertahun tahun mengalami penderitaan di atas bantal,telah menghembuskan nafas terakhirnya,meninggalkan anak,cucu,dan cicitnya.  MA COMPONG adalah nama perempuan tua itu,nenek yang sangat kusayang,baik hati,penyayang,dan selama hidupnya dia suka menolong ibu-ibu yang sedang mengandung,dan suka membantu ibu- ibu yang akan melahirkan.

Deraian air mata terus menetes,setelah telinga ini mendengar kabar bahwa dia telah menghembuskan nafas terakhirnya,telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.Dan hati kecil ini berkata;nek,mengapa engkau pergi di saat aku mengalami banyak masalah? sehingga aku tak bisa melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya.

Kini kenangan hanya tinggal kenangan. perjuangan dan pengorbananmu ketika aku masih kecil hingga aku dewasa,tidak akan pernah bisa kulupakan seumur hidupku. Ketika aku masih bayi,kau yang merawatku,dan ketika aku sakit,kau yang terus menjaga dan nengobatiku.kau tak pernah mengeluh dan tak kenal lelah mengurus aku, hingga aku bisa menjadi sehat dan dewasa seperti sekarang ini. Bukan hanya aku,adik dan kakakku pun,kau rela meninggalkan pekerjaanmu demi memperjuangkan hidup kami.bahkan,orang lain pun kau rela menolong,apabila ada yang membutuhkanmu.engkau begitu baik,begitu penyayang,meskipun kami sering membentakmu. apapun yang aku butuhkan dan minta padamu,tak pernah sedikit pun aku mendengar kata TIDAK, dari mulutmu.namun hanya doa dan air mata yang hanya bisa kupanjatkan dan kutitipkan untukmu.

Oh Tuhan,belum cukupkah cobaan yang Engkau berikan padaku? Sebelumnya, Engkau juga telah mengambil begitu cepat adik kemenakanku,adik yang begitu gagah,begitu polos,yang belum mengerti apa-apa,adik  yang sangat aku cintai,adik  yang sudah saya anggap sebagai adik kandungku sendiri,telah Engkau ambil  begitu cepat,itu pun di saat aku juga mengalami banyak masalah.kapankah cobaan ini berakhir ya Tuhan? Apakah ini  jalan takdirku?Namun,cobaan apapun yang Engkau berikan padaku,aku akan selalu tetap tabah menghadapinya.karena aku sadar,semua yang terjadi pada diriku,tidak lain hanya karena dirikulah yang penuh dosa.semoga apa yang terjadi pada diriku adalah merupakan suatu pelajaran DariMu.Tuhan, berilah aku iman yang kuat, agar aku bisa bertaubat, dan bisa kembali menuju jalan yang benar.

Indo,maafkan semua kesalahanku,dan semoga engkau bisa tenang di alam sana.selamat tinggal nenekku sayang?selamat jalan indo compongku?semoga amal ibadahmu,diterima disisiNya.dan semoga anak,cucu,dan cicit yang kau tinggalkan,bisa tabah menerimanya dan bisa meneruskan perjuangan dan pengorbanan,yang telah kau lakukan ketika engkau masih hidup.

 

Cerita ini dibuat oleh Lilis

 

Cinta dan Waktu

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai
macam benda-benda abstrak: ada Cinta, Kesedihan,
Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup
berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika,
datang badai menghempas pulau kecil itu dan air
laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu.

Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha
menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan sebab
ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu.

Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari
pertolongan. Sementara itu air makin naik
membasahi kaki Cinta.

Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh
perahu.

“Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!” teriak Cinta.

“Aduh! Maaf, Cinta!” kata Kekayaan, “perahuku
telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat
membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam.

Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku
ini.” Lalu Kakayaan cepat-cepat mengayuh perahunya
pergi.

Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya
Kegembiraan lewat dengan perahunya.

“Kegembiraan! Tolong aku!”, teriak Cinta. Namun
Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan
perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.

Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke
pinggang dan Cinta semakin panik.

Tak lama lewatlah Kecantikan.

“Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!”, teriak Cinta.

“Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa
membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang
indah ini.” sahut Kecantikan. Cinta sedih sekali
mendengarnya.

Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah
Kesedihan.

“Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu,” kata Cinta.

“Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin
sendirian saja…” kata Kesedihan sambil terus
mengayuh perahunya.

Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan
akan menenggelamkannya.

Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara,
“Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!”

Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat
seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta
naik ke perahu itu, tepat sebelum air
menenggelamkannya. Di pulau terdekat, orang tua
itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.

Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama
sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang
menyelamatkannya itu. Cinta segera menanyakannya
kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa
sebenarnya orang tua itu.

“Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu.” kata orang
itu.

“Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak
mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku
pun enggan menolongku” tanya Cinta heran.

“Sebab,” kata orang itu, “hanya Waktu lah yang
tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu …”

By Edy Buyat Dikirimkan di Lelucon

Cinta Laki-laki Biasa

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

“Kenapa?” tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati
hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

“Kamu pasti bercanda!”

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
“Nania serius!” tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya.

“Tidak ada yang lucu,” suara Papa tegas, “Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!”

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

“Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?” Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, “maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?”

Nania terkesima.

“Kenapa?”

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami.

Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.

“Nania Cuma mau Rafli,” sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan
sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

“Tapi kenapa?”

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

“Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!”

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli
tampak ‘luar biasa’. Nania cuma punya idealisme berdasarkan perasaan
yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

“Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.”

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak
percaya.

“Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!”

“Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!”

“Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!”

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.

Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan
Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

“Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.”

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.

Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

“Tak apa,” kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.

“Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.”

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu.

Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu
bisa menangkap hanya maksud baik.

“Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?”

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan
dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi
Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat
Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.

Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

“Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!”

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

“Baru pembukaan satu.”

“Belum ada perubahan, Bu.”

“Sudah bertambah sedikit,” kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan.

“Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.”

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.

Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak
bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

“Masih pembukaan dua, Pak!”

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

“Bang?”

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua
kehidupan.

“Dokter?”

“Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.”

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang
karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

“Pendarahan hebat.”

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.

Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.

Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang
terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang
kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.

“Nania, bangun, Cinta?”

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang.

Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra.

Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

“Nania, bangun, Cinta?”

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.

Anak-anak merindukan ibunya.

Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama
tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.

Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.

“Baik banget suaminya!”

“Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!”

“Nania beruntung!”

“Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.”

“Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!”

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan
Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

By Edy Buyat Dikirimkan di Lelucon